Apakah Sama Bunga Bank dengan Riba?

Menurut ekonom konvensional, bunga (interest) adalah “harga” dari penggunaan uang atau bisa juga dipandang sebagai “sewa” atas penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Bunga (interest) biasanya dinyatakan dalam bentuk % per satuan waktu yang disepakati (hari, bulan, tahun, dan atau satuan waktu yang lain). Sebelum membicarakan bunga lebih jauh, mari kita lihat sejarah munculnya bunga terlebih dahulu. Bunga ini mulai muncul kurang lebih sejak 2.500 tahun sebelum Masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian pada masa Romawi yang terwujud dalam bentuk hutang piutang. Selanjutnya, kegiatan hutang piutang inilah yang menjadi cikal bakal kegiatan perbankan modern yang dikelola dengan sistem administrasi yang lebih tertib dan teratur yang muncul di Italia pada abad pertengahan dan hanya dikuasai oleh beberapa keluarga yang pada waktu itu digunakan untuk membiayai kegiatan kepausan dan produksi benang maupun kain wol. Seiring berjalannya waktu, perkembangan perbankan mulai berkembang pesat pada abad ke 18 dan 19.

Kontroversi tentang bunga ternyata tidak hanya tejadi pada saat ini saja, akan tetapi sejak kemunculannya, bunga sudah menjadi kontroversi. Para filosof Yunani dan Romawi seperti Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) pada umumnya mereka mengecam dan mengutuk praktik pemungutan bunga pinjaman atas uang yang berlangsung pada saat itu. Plato mengecam bunga karena dapat menyebabkan perpecahan, perasaan tidak puas dalam masyarakat dan bentuk eksploitasi orang kaya terhadap orang miskin. Aristoteles juga mengatakan bahwa bunga adalah bentuk ketidakadilan karena ia berasal dari sesuatu (keuntungan berusaha) yang belum pasti terjadi.

Pada masa Plato dan Aristoteles, pengambilan tambahan uang atas pinjaman lebih dikenal dengan rente (usury) yaitu bunga uang yang jumlahnya cukup besar. Berbeda dengan bunga (interest) pada saat ini yang nilainya relatif lebih kecil. Pada perbedaan seperti ini tidak mudah untuk menentukan standarisasi berapa yang dikatakan besar atau kecil tersebut, meskipun secara logika sederhana dapat dipahami bunga itu besar apabila dalam satu tahun bertambah 100% atau menjadi dua kali lipat pokok pinjaman. Lantas “angka berapa” yang tergolong kecil sehingga tidak termasuk bunga?Apakah sama ukuran besar-kecilnya bunga menurut satu orang dengan orang yang lainnya dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang berbeda-beda? Ukuran besar-kecil inilah yang menjadikan perbedaan pendapat tentang apakah bunga yang kecil seperti saat ini termasuk yang dilarang oleh agama atau tidak.

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin tentu saja mengatur segala dimensi kehidupan manusia, baik dalam dimensi ibadah maupun dimensi muamalah. Begitu juga dengan fenomena bunga (interest) yang muncul dalam aktifitas ekonomi manusia yang merupakan bagian dari muamalah sudah pasti juga diatur oleh Islam. Akan tetapi, karena istilah atau “kata” bunga (interest) baru muncul pada abad baru-baru ini, sedangkan Islam sudah datang sejak 14 abad yang lalu, maka memang tidak ditemukan dalam suatu ayat maupun hadist yang menyebutkan tentang bunga. Namun, istilah yang muncul dalam Al Qur’an maupun hadist adalah riba yang ketika diterjemahkan dalam bahasa inggis menjadi usury, bukan interest. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, pada titik inilah terjadi perbedaan pendapat apakah bunga (interest yang tidak berlipat ganda) sama dengan riba? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita pelajari terlebih dahulu apa yang dimaksud riba itu.

Secara istilah bahasa, riba adalah ziyadah atau tambahan. Sedangkan secara istilah teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harga pokok (modal) secara batil. Secara umum riba dapat juga diartikan sebagai penambahan terhadap pokok hutang. Artinya, setiap penambahan dalam hutang baik kualitas maupun kuantitas, baik banyak maupun sedikit, adalah riba yang diharamkan. Larangan mengambil harta sesama secara batil terdapat pada surat An-Nisa ayat 29 :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

 Secara garis besar, riba terbagi dalam dua jenis yaitu riba hutang piutang dan riba jual beli. Riba hutang piutang juga masih terbagi dalam dua jenis lagi yaitu :

  1. Riba Qord, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan kepada yang berhutang (Muqtaridh).
  2. Riba Jahiliyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Sedangkan riba jual beli juga masih dibagi dalam dua jenis yaitu :

  1. Riba Fadhl, yaitu kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan dengan ukuran tertentu. Riba ini banyak berlaku dalam transaksi barter, barang dengan barang.
  2. Riba Nasi’ah, yaitu kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakti jatuh tempo. Apabila dalam transaski hutang piutang, pihak yang berhutang tidak mampu membayar hutang dan tambahannya, hutang dapat diperpanjang dengan persyaratan hutang bertambah pula.

Apabila memperhatikan definisi riba di atas dan memperhatikan praktik bunga dalam perbankan konvensional pada saat ini, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa bunga bank adalah riba. Menurut Imam Nawawi, salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al Qur’an dan Sunnah adalah penambahan harta pokok karena unsur waktu. Dalam perbankkan konvensional hal ini disebut dengan bunga kredit sesuai dengan lama waktu pinjaman. Prof. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Mereka terdiri dari ahli fiqih, ahli ekonomi, dan ahli keuangan dunia.Tidak ada seorang pun ulama yang telah ijma’ tersebut membantah tentang keharaman bunga bank.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia juga telah melakukan pengkajian yang mendalam mengenai hukum bunga bank. Terdapat dua pertimbangan bagi MUI dalam melakukan pengkajian terhadap bunga bank ini, yang pertama yaitu hukum asal bunga bank yang diidentikan dengan riba pada jaman kehidupan Nabi SAW dahulu dan yang kedua yaitu mempertimbangkan kondisi perbankan Indonesia saat ini yang sudah banyak terdapat kantor bank syariah. Akhirnya pada bulan Januari 2004 MUI mengeluarkan fatwa haram bunga bank. Isi utama dari fatwa MUI tesebut adalah sebagai berikut :

Pertama: Pengertian Bunga (interest) dan Riba

  • Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/ hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
  • Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

Kedua: Hukum Bunga (interest)

  • Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Nabi SAW, dan inilah Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba hukumnya haram.
  • Praktek pembungaan tersebut hukumnya haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangaan lainnya, maupun yang dilakukan oleh individu.

Ketiga: Bermuamalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional

  • Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah dan mudah untuk dijangkau tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan pada perhitungan bunga.
  • Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.

Sebagai orang muslim, kita harus mengambil  sikap atas sistem perbankan konvensional yang mengandung unsur riba. Tidak dipungkiri lagi bahwa sistem bunga bank sudah mendarah daging di kalangan ummat Islam. Oleh karena itu, secara perlahan namun pasti kita harus berubah haluan dari sistem perbankan yang mengandung riba menuju sistem perbankan yang bebas dari riba.

Larangan Riba Dalam Al Qur’an :

  1. Surat Ar Rum ayat 39

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

  • Surat An Nisaa ayat 160-161

Artinya:  Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

  • Surat Ali Imran ayat 130

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

  • Surat Al Baqarah ayat 278-279

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

  • Surat Al Baqarah ayat 275

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Larangan Riba Dalam Hadits:

  1. Hadits ini merupakan isi dari surat Rasulullah SAW kepada Itab bin Usaid, gubernur Mekkah, agar kaum Thaif tidak menuntut hutangnya (riba yang telah terjadi sebelum kedatangan Islam) dari Bani Mughirah :

Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu, hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.

  • H.R. Bukhari

Diriwayatkan oleh Samura bin Jundab bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, “Siapakah itu ?”, Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan riba”.

  • H.R. Muslim

Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”.

Wallahu’alam.

Bahan Utama Tulisan ini diambil dari Muhammad Ghafur Wibowo, Pengantar Ekonomi Moneter (Tinjauan Ekonomi Konvensional dan Islam), Biruni Press, Yogyakarta.

Andy Putra Wijaya, S.E.I., M.S.I.

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) KSPPS BMT EL BUMMI 373

Scroll to Top