Aku Tidak Takut Corona, Aku Hanya Takut Kepada Allah!

Aku Tidak Takut Corona, Aku Hanya Takut Kepada Allah!
Oleh: Andy Putra Wijaya (Ketua Bidang Dakwah dan Pengkajian Islam Pemuda Muhammadiyah Bantul, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Syari’ah Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga)

Sebagaimana kita ketahui, virus covid-19 atau yang sering disebut corona sedang mewabah di berbagai negara dunia. Termasuk Indonesia yang sudah kedapatan ada yang terjangkit virus tersebut di beberapa daerah. Presiden RI kemudian mengeluarkan himbauan untuk membatasi aktivitas di luar rumah dan menghindari aktivitas yang melibatkan kerumunan massa, termasuk di dalamnya dalam urusan ibadah. Ormas Muhammadiyah pun juga mengeluarkan maklumat yang kurang lebih isinya senada dengan himbauan pemerintah. Tak ketinggalan, kampus-kampus di DIY juga melakukan lockdown sebagai kontribusi pencegahan dan meminimalisir menularnya covid-19.

Ironisnya, saya amati melalui medsos tidak sedikit yang masih apatis terhadap covid-19 dengan memberikan pernyataan kurang lebih sebagai berikut: “aku tidak takut corona, aku hanya takut kepada Allah”, “umur manusia sudah ditentukan, baik dengan corona atau tidak kita akan mati jadi tidak usah khawatir”, “izrail tidak akan salah alamat, corona atau tidak corona izrail pasti datang dengan tepat”, dll.

Sekilas pernyataan tersebut terkesan super relijius dan keluar dari orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan. Level syar’inya sudah diatas rata-rata. Namun, jika pernyataan itu muncul sebagai tindakan “abai” terhadap realitas mewabahnya covid-19, justru ini sangat tidak syar’i dan low-religious. Ketidak-syar’i-an karena sikap abai tersebut dapat buktikan sekaligus pernyataan-pernyataan di atas dapat dipatahkan dengan beberapa argumentasi berikut:

  1. Dalil Al-Qur’an
    Allah SWT berfirman:

…وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَنْـفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ بِكُمْ رَحِيْمًا
“…Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 29).
Ayat ini tegas menyebutkan larangan membunuh diri-sendiri. Oleh sebab itu hal-hal yang berpotensi menimbulkan kemadharatan bagi diri sendiri itu dilarang oleh agama. Senada dengan teori maqashid syariah (tujuan hukum syar’i) yang dikembangkan Syatibi dari Ghazali, salah satu tujuan diterapkannya syari’at adalah untuk mewujudkan hifdz al-nafs (menjaga keselamatan jiwa). Jadi, abai terhadap mewabahnya virus corona yang dapat membahayakan keselamatan diri itu bertentangan dengan syariat alias bertentangan dengan Al-Qur’an dan tujuan syariat.

  1. Dalil Hadits
    Seperti diriwayatkan dalam hadits berikut ini:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Isi dari hadits di atas juga merupakan perintah tegas untuk melakukan lockdown (isolasi) jika terjadi wabah penyakit menular. Spirit melakukan hal demikian adalah demi mencegah menularnya dan tertularnya dari wabah penyakit. Artinya, hadits ini dapat kita pahami bahwa melakukan isolasi sebagai tindakan preventif demi mencegah tertularnya penyakit adalah bagian dari sunnah (hal yang dilakukan Nabi), termasuk dalam hal ini adalah menghindari kerumunan massa sampai kondisi aman demi mencegah semakin mewabahnya penyakit. Termasuk juga untuk sementara waktu tidak melakukan pengajian atau kegiatan keagamaan yang bersifat mengumpulkan massa, sampai kondisi benar-benar steril. Meski ada hadits yang menyatakan bahwa mati karena wabah akan diganjar surga, tapi tentu saja tidak berlaku bagi muslim yang abai terhadap wabah.

‏ الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: “Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR Bukhari)
Sebagai muslim tentu saja kika harus berikhtiar untuk melakukan pencegahan mewabahnya covid-19 dengan melakukan upaya-upaya menghentikan mata rantainya.

  1. Sadd adz-dzari’ah
    Sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode ijtihad dalam mengeluarkan hukum Islam. Secara etimologi, sadd adz-dzari’ah berasal dari dua kata. Sadd artinya menutup dan dzari’ah yang artinya jalan. Jadi menurut bahasa sadd ad-dzari’ah artinya adalah menutup jalan. Dalam konteks ini, menutup jalan demi terhindarnya kemungkinan kuat terjadinya kemadharatan jika jalan itu dibuka. Dengan kata lain, sadd adz-dzariah merupakan tindakan preventif untuk mencegah timbulnya kemadharatan. Jadi, upaya-upaya dalam pencegahan dari madharat yang ditimbulkan covid-19 itu sesuai dengan hukum Islam.
  2. Kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih
    Fikih secara terminologi adalah paham mengenai hukum Islam yang digali dari dalil-dalil yang terinci. Untuk memudahkan dalam mengaplikasikan dan mengeluarkan hukum dari dalil-dalil terinci tersebut, kemudian para ulama ushul dan fikih merumuskan kaidah-kaidah. Salah satu kaidah yang ada adalah “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” yang artinya “Menolak madharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”. Sikap sesuai kaidah fikih inilah yang seharusnya kita pegang dalam kasus penanganan covid-19. Sebagai contoh, saya amati beberapa orang bersikeras untuk menyelenggarakan pengajian yang melibatkan orang banyak, dengan argumen bahwa umur itu sudah ditentukan oleh Allah sedangkan ngaji itu adalah perintah Allah untuk menuntut ilmu, maka tidak usah takut pada corona tapi takutlah haya pada Allah. Memang ngaji/pengajian itu banyak manfaatnya, tetapi dalam situasi tertentu seperti saat ini ketika sedang mewabahnya covid-19 menghindari madharat harus diutamakan ketimbang manfaatnya. Ini yang sesuai dengan syari’at seperti yang sudah saya jelaskan di atas.

Akhirnya, mari kita bersama meningkatkan kewaspadaan dan ikhtiar mencegah meluasnya covid-19, bukan malah abai. Kita ikuti himbauan-himbauan dari otoritas yang ada. Tentu saja ini demi kemaslahatan kita bersama.

Wa Alllahu a’lam

Scroll to Top